Jumat, 26 Agustus 2011

Musik Suku Biak-Numfor

31 Oktober 2008

21. Musik Suku Biak-Numfor (9)


Masih tersisa lima dari tujuh belas wor Biak yang sudah dibahas sejauh ini. Dun Sner dan Dow Mamun Refo adalah lagu tarian sementara Armis, Randan, dan Dow Bemum Wame tergolong pada wor non-tarian. Semuanya diberi iringan tifa sesudah intro setiap lagu.
Tempo
Tempo kelima lagu ini tergolong pada kelompok tempo yang sangat lambat. Yang paling lambat temponya adalah Randan (MM=kira-kira 50) dan yang paling cepat dalam kelompok ini adalah Armis (MM=kurang-lebih 70). Perkiraan tempo wor lainnya demikian: Dow Bemun Wame, MM=61; Dun Sner, MM=66; dan Dow Mamun Refo, MM=67. Secara khusus, Randan, Dow Bemun Wame, dan Dun Sner tergolong pada Largo, tempo paling lambat dari kelompok tempo yang sangat lambat. Kedua wor lainnya tergolong pada Adagio.
Ilmu musik Barat membedakan lima kelompok tempo:
  • Kelompok tempo yang paling lambat: Largo (MM 40-66), Lento, Adagio (MM 66-76), dan Grave.
  • Kelompok tempo yang lambat: Larghetto, Andante (MM 76-108), dan Andantino.
  • Kelompok tempo yang agak cepat: Allegretto, Moderato (MM 108-120), Allegro Moderato.
  • Kelompok tempo yang cepat: Allegro (MM 120-168).
  • Kelompok tempo yang sangat cepat: Presto (MM 168-208), Veloce, Allegro assai, Vivace, Allegrissimo, Prestissimo, dan lain-lain.
Pola Ritme yang Rumit
Meskipun tempo kelima wor tadi sangat lambat, melodinya memakai bermacam-macam pola ritme yang rumit. Not bernilai seperempat, termasuk yang ditahan, sangat sedikit dibanding kombinasi not dengan berbagai nilai, seperti kombinasi not seperdelapan dengan not seperenam belas, kombinasi not seperenam belas, kombinasi not seperdelapan dengan not seperenam belas ditambah triul pendek yang setiap notnya bernilai seperenam belas, dan berbagai kombinasi not lain.
Pola-pola ritme dengan berbagai kombinasi tadi jarang ditemukan dalam nyanyian pop modern dan bahkan dalam nyanyian gereja untuk ibadah. Pola-pola ritme kelima wor tadi - dan kedua belas wor lainnya yang sudah dibahas - tidak kalah tingkat kerumitannya dengan lagu-lagu instrumental modern kelas berat dan bahkan lagu-lagu klasik Barat tertentu. Tapi berbeda dengan pola-pola ritme lagu-lagu instrumental dan klasik ini, pola-pola ritme yang rumit dari wor-wor Biak itu dinyanyikan oleh penyanyi tradisional dari Biak. Pola-pola ini sering menunjukkan interval-interval yang tidak persis sama dengan interval-interval musik Barat. Belum lagi kerumitan pola-pola ritmenya yang dinyanyikan, para penyanyi solo dan koor menambah nada-nada melismatik - cengkok-cengkok - pada kombinasi not-not yang rumit dari nyanyian-nyanyiannya. Mengesankan kemahiran nyanyi para penyanyi tradisional dari Biak.
Ritme Bahasa Biak Lisan
Kalau didengarkan lebih cermat, berbagai kombinasi not-not dalam melodi-melodi wor tadi sangat dipengaruhi aksentuasi dan intonasi bahasa Biak. Dengan kata lain, pola ritme wor ditentukan oleh pola ritme syair dalam bahasa Biak lisan. Ini mengakibatkan timbulnya ritme khas Biak dan prosodi, dalam arti, keselarasan antara tekanan kata dan tekanan melodik.
Kekhasan ritme wor macam ini membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk menciptakan wor-wor modern yang khas Biak. Ritme tradisional tadi bisa dikembangkan untuk musik modern berdasarkan bentuknya yang asli, melalui penyesuaian, atau melalui penciptaan kembali tanpa menghilangkan ciri khas ritme itu.
Ciri-Ciri Utama Lain
Lalu, bagaimana dengan ciri-ciri utama lain dari kelima wor tadi? Ciri-ciri utama lain itu mencakup nada dasar, tangganada, kontur melodi, dan pola pukulan tifa.
Nada dasar
Nada dasar Dun Sner adalah a; Dow Mamun Refo, b; Armis, c; Randan, ab (as); dan Dow Bemun Wame, eb (es). Tentu nada dasar ini tidak berlaku mutlak; Anda yang jenis suaranya lebih rendah atau lebih tinggi akan memakai nada dasar lain yang cocok dengan jangkauan suaramu.
Tangganada tetratonik dan pentatonik
Untuk mempermudah penjelasan tentang tangganada, kunci C diatonik mayor dipakai sebagai dasar kedua jenis tangganada tadi. Wor yang dibentuk oleh tangganada tetratonik (empat nada secara bertangga) mencakup Randan (C-D-E-G) dan Dow Bemun Wame (C-D-E-A). Selebihnya diciptakan berdasarkan tangganada pentatonik dengan modus C-D-E-G-A.
Dalam tangganada yang sama, kontur melodi setiap wor berbeda. Bentuk dasar melodi Dun Sner adalah C'-A-G-D-E-D; Dow Mamun Refo, G-E-C-D-A,-C; Armis, G-D-E-A,-C; Randan, E-G-E-D-C; dan Dow Bemun Wame, A,-E-C-D-A,.
Catatan: C' menandakan not titik satu di atasnya; A, menandakan not titik satu di bawahnya.
Kontur melodi
Dalam hubungan dengan pertanyaan Rutherford dan Yampolsky tentang apa yang membedakan satu jenis wor dari yang lainnya, saya menduga ada pengaruh kontur melodi. Setiap wor yang direkam Rutherford dan Yampolsky selalu diawali seorang penyanyi solo yang memperkenalkan melodi dan bentuknya. Koor menyanyi bersama-sama dengan penyanyi solo sesudah mereka mengingat atau menghafal melodi itu. Selama dinyanyikan, entah penyanyi solo entah seorang anggota koor mengembangkan wor itu dengan menambah atau mengurangi not-not wor. Penambahan atau pengurangan ini menimbulkan pola ritme yang agak berbeda. Apapun yang mereka lakukan, kita mendengarkan suatu bentuk dasar yang berulang-ulang yang diperkenalkan pertama kali di awal wor oleh penyanyi solo.
Kontur melodi Dow Bemun Wame, misalnya, mulai dengan A di bawah C tengah (not la bertitik satu di bawahnya) dan berakhir dengan not yang sama. Manipulasi not-not di antara kedua nada batas luar ini menghasilkan efek yang dalam pendengaran musikal kita yang terbiasa dengan musik Barat atau modern bersifat sedih, murung, sayu, muram. Efek yang agak mirip bisa kita dengarkan dari Dun Sner. Wor ini mulai dengan A, terkadang diikuti dengan C sebagai variasi sebelum berayun kembali ke A lalu diakhiri dengan D. Skema melodi menjadi (C')-A-G-E-D. Efek sebaliknya menurut telinga musikal Barat atau modern kita, yaitu suasana gembira atau cerah, bisa kita dengar dari Randan (E-G-E-D-C) dan Dow Mamun Refo (G-E-C-D-A,-C). Mungkinkah jenis-jenis kontur inilah yang menentukan ciri-ciri khas kelima wor tadi? Tampaknya demikian.
Pola pukulan tifa yang baru
Semua wor ini diiringi tifa, kira-kira sesudah penyanyi solo memperkenalkan melodinya. Pola pukulan dasar tifa tidak beda dengan salah satu atau beberapa dari ke-21 pola pukulan tifa Biak yang sudah dijelaskan dalam bab 20.
Hanya pada dua wor saja saya menemukan dua pola pukulan tifa yang khas. Yang pertama, pukulan tifa yang mengiringi Randan. Semua tabuhan mengikuti ketukan dasar atau matra lagu dengan memperdengarkan pukulan yang sama nilainya dengan not seperempat dalam satu birama 4/4. Pola pukulan yang baru saya temukan ketika semua penyanyi mengakhiri wor ini dengan not tonikanya, do (C), sebanyak empat ketukan. Ada dua orang penabuh tifa yang mengiringi seluruh nyanyian ini yang memakai pukulan yang seragam sepanjang hampir seluruh wor. Tapi pada not akhir, mereka berdua menghasilkan pola pukulan yang berbeda, suatu pola pukulan yang belum dicatat dalam bab 20, demikian:
Tifa randan
Yang kedua, pukulan tifa yang mengiringi Dow Bemun Wame. Beberapa ketukan sesudah intro nyanyian dan perulangannya, penabuh tifa menghasilkan tabuhan yang mengikuti matra birama 4/4. Sesudah itu, dia beralih ke pukulan yang seharusnya adalah delapan ketukan dari empat pasangan not yang masing-masing bernilai seperdelapan dalam satu birama 4/4. Ini akan memberikan efek keteraturan pukulan tifa pada telinga musikal kita. Tapi yang kita dengar adalah tabuhan empat satuan triul pendek dalam setiap birama, seperti yang berikut:
Dow bemun wame tifa
Seharusnya, penabuh tifa memukul pola ritme dalam birama pertama, demi keteraturan bunyi perkusi. Tapi yang dia hasilkan malah pola ritme dalam birama kedua, empat satuan triul pendek. Satuan ini dia pertahankan sampai dengan akhir lagu. Cara dia menghasilkan pukulan triul pendeknya tanpa aksentuasi pada ketukan tertentu - misalnya, ketukan kedua dan keempat - sehingga terdengar sama nyaringnya. Seandainya dia memberi aksentuasi, kita berangsur-angsur akan merasakan semacam irama slow rock atau slow blues dalam musik pop modern. Tapi tiadanya aksentuasi ritmik melalui tifa mengakibatkan efek ritmik antara melodi dan tifa kedengaran agak aneh, membingungkan. Apapun juga, teknik pukulan tifa pada birama kedua menambah perbendaharaan pola pukulan perkusi khas Biak melalui tifa.
Untuk Anda yang penasaran dengan pola pukulan tifa Dow Bemun Wame tadi, saya mengungguhnya pada side bar blog ini. Anda tentu akan mendengarkan juga seluruh nyanyiannya.

Minggu, 21 Agustus 2011

Musik tradisional papua

MUSIK TRADISIONAL DI PAPUA
budayatari.jpg
Sesudah menyajikan makalahnya tentang musik tradisional di Indonesia dalam kursus bahasa Indonesia musiman di depan peserta dari beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1979, Marina Roseman, salah seorang peserta itu datang pada penyaji makalah itu, Pak C. Akwan. “Karya Dr. J. Kunst yang Anda sebutkan sebagai salah satu referensi, kami pelajari di Cornell,” kata mahasiswa S2 asal Amerika Serikat ini. Nina – demikian nama sapaannya – adalah seorang mahasiswi Jurusan Etnomusikologi pada universitas itu. C. Akwan, seperti yang dituturkannya pada saya kemudian hari di Jakarta, waktu itu masih mahasiswa tingkat terakhir Jurusan Bahasa Inggris UKSW.
Lelaki asal Manokwari ini terkenal juga sebagai seorang musikus berpengalaman dengan banyak prestasi. Misalnya, “Gembala Baik Bersuling nan Merdu” ciptaannya – Kidung Jemaat 415 – ternyata menjadi suatu lagu gereja yang sering dinyanyikan dalam ibadah Kristen di Indonesia dan di luar negeri dan direkam berkali-kali, termasuk suatu versi keroncong oleh Mus Mulyadi. Melodinya diciptakan berdasarkan tangganada tradisional di Papua: lima nada yang mengandalkan urutan not do, re, mi, sol, la.
Anda yang berbakat musikal pun bisa menciptakan lagu berdasarkan tangganada tradisional di Papua. Kalau tidak lagi ingat, Anda bisa pelajari kembali hasil penelitian ilmiah tentang musik tradisional khas di Papua. Kemudian, Anda menciptakan lagu yang khas Papua. Akan lebih afdol kalau iringan musiknya dibuat sekhas mungkin – ini malah dicari musikus luar negeri. Untuk memahami musik tradisional itu, Dr. J. Kunst bisa membantu Anda. Dia sudah meneliti musik tradisional di Papua menjelang akhir 1920 dan pada tahun 1930-an.
Ke Nieuw Guinea Tiga Kali
Dr. J. Kunst terkenal dalam bidang etnomusikologi karena hasil penelitian monumentalnya tentang musik tradisional di Hindia Belanda. Sudah terbit versi bahasa Inggris dari penelitiannya tentang musik tradisional, di antaranya dari Jawa, Sunda, dan Papua. Dia bahkan dipandang salah seorang pelopor cabang ilmu musik yang sekarang disebut “etnomusikologi”.
Penelitian ahli etnomusikologi asal Belanda ini di Nieuw Guinea dilakukan pertama kali pada tahun 1926. Pak J. Kunst ikut serta dalam Ekspedisi Nieuw Guinea Amerika-Belanda yang dipimpin C.C.F.M. Le Roux, seorang ahli etnografi dan topografi, yang mengajak Kunst ikut. Melalui jasa pemimpin ekspedisi ini, Kunst diperlengkapi dengan 14 fonogram – sejenis alat untuk merekam suara dan lagu – untuk merekam nyanyian dan musik suling suku Takutameso atau Kauwerawet di Papua. (Rekaman dilakukan Le Roux.) Karena terhalang untuk merekam musik suku Awembiak dan Dem, dua orang anggota ekspedisi itu yang hafal lagu-lagu kedua suku tadi bisa merekamnya untuk Kunst. Yang satu menyanyikannya dan yang lain memainkannya pada sebuah biola.
Pada bulan Mei 1929, Kunst berkesempatan bertemu langsung dengan musik Papua.Pada bulan ini, Perhimpunan Batavia untuk Kesenian dan Sains merayakan ulang tahunnya yang ke-150. Perayaan ini berbarengan dengan penyelenggaraan Kongres Sains Pasifik Keempat di Batavia – sekarang bernama Jakarta – tempat suatu pameran etnografik diadakan. Pada pameran ini, kelompok-kelompok masyarakat dari seluruh Nusantara tampil, termasuk orang-orang Papua. Mereka berasal dari beberapa suku di utara Nieuw Guinea, yaitu, dari pesisir Waropen, pulau Yapen, dan beberapa kampung di Teluk Humboldt. J. Kunst berkesempatan merekam beberapa lagu dari suku-suku pesisir di utara Nieuw Guinea ini.
Kunst lalu mengadakan suatu kunjungan resmi – tidak berhubungan dengan musik – ke Nieuw Guinea tahun 1932. Dia berkesempatan merekam beberapa nyanyian Papua dari penduduk Waigeo dan Sorong. Sekitar tahun ini, dia mendapat suatu koleksi nyanyian suku Marind, Ye, dan Kanun-anim yang direkam di sekitar Merauke oleh Pater Verschueren. Dia juga mendapat suatu koleksi 24 nyanyian Marind-anim yang dicatat Bapak Soukotta, seorang perwira polisi asal Ambon.
Terakhir, dia mengikuti suatu ekspedisi ke Nieuw Guinea pada tahun 1939. Ekspedisi ini diatur oleh Perhimpunan Geografi Kerajaan Belanda yang dipimpin lagi oleh Le Roux. Dalam ekspedisi ini, Kunst berkesempatan merekam musik suku-suku pegunungan di Pegunungan Tengah dan nyanyian-nyanyian penduduk pesisir di Utah, pesisir baratdaya Nieuw Guinea.
Tiga Hasil Penelitian Kunst
Sesudah Kunst wafat, hasil penelitiannya tentang musik tradisional Papua selama jangka waktu yang berbeda tadi diterbitkan dalam suatu himpunan tiga penelitian oleh isterinya. Bahan-bahan untuk penelitian pertama Kunst tahun 1926 dikerjakannya kembali pada tahun 1927, kemudian diterbitkan untuk pertama kali oleh Panitia Riset Ilmiah Hindia Belanda pada tahun 1931. Penelitiannya yang ketiga diterbitkan Lembaga Tropis Kerajaan Belanda tahun 1950.
Mula-mula, ketiga hasil penelitian J. Kunst diterbitkan dalam bahasa Belanda. Kemudian, versi bahasa Inggris dan perbaikan naskah aslinya diterbitkan Lembaga Kerajaan Belanda untuk Linguistik, Geografi, dan Etnologi pada tahun 1967. Judulnya, Music in New Guinea, dicetak Martinus Nijhoff di ‘s-Gravenhage (Den Haag).
Mengapa Musik Etnik Diteliti
Pada zaman Kunst, para peneliti masyarakat primitif belum tahu banyak tentang musik tradisional masyarakat. Mereka belum punya suatu gambaran umum tentang apa musik tradisional suku-suku terasing. Mereka, karena itu, membutuhkan suatu pemahaman sistematik tentang musik seluruh bangsa di dunia melalui fonografi. Pada zaman itu, musik tradisional Afrika yang sedikit sekali diteliti dan dipahami tengah terancam oleh musik modern dari kebudayaan Barat. Kalau musik traidional itu tidak cepat diteliti dan direkam melalui fonogram, para ahli musik kuatir mereka terlambat untuk memahami apa sesungguhnya musik Afrika itu. Kekuatiran yang sama berlaku juga untuk musik dari Hindia Belanda, termasuk dari Nieuw
MUSIK TRADISIONAL DI PAPUA